Dulu sekali saat saya belum pernah mencicipnya, bagi saya warung ini mencurigakan. Beratap terpal, dengan gerobak plus kursi memanjang, dan punya 3 ceret (teko)(makanya sering disebut warung tiga ceret). Lokasinya yang seringkali di pojokan jalan jalan dan pasti remang remang membuat saya semakin bingung dengan eksistensi serta niat warung ini. Bukan karena apa apa, sepertinya orang-orang yang datang kesitu sudah seperti konsumen terbatas yang saling mengenal satu sama lain, dan menutup diri bagi orang asing.(padahal bukanya berjarak tidak lebih dari 100 m dari rumah saya)
Saya lupa kapan tepatnya mencoba warung model seperti ini, yang saya yakin sekarang jumlahnya sudah ratusan di seantero jogja. Dalam radius 500 m dari rumah saya, ada sekitar 5 warung seperti ini. Lebih banyak dari jumlah sepeda yang ada di jalan, padahal jogja sering dijuluki kota sepeda. Kota angkringan sepertinya lebih tepat saat ini. Yang kemudian saya tahu adalah, saya sudah menjadi pelanggan loyal angkringan (lebih loyal dibanding sama kuliah saya waktu itu). Jangan berharap menu menu istimewa, cuma ada nasi kucing (karena terlalu sedikit, plus lauk teri yang besarnya tidak pernah lebih dari 5 cm atau kering tempe menguatkan kesan bahwa nasi ini seharusnya adalah hidangan buat kucing). Beberapa macam gorengan, krupuk krupukan dan beberapa varian camilan yang saya yakin tidak direkomendasikan oleh Depkes atau BP POM. Sesuai dengan harganya memang. 500 rupiah untuk satu bungkus nasi, 500 untuk es teh manis dan 200 untuk goreng gorengan (boleh ngutang lagi). Sekali makan tidak lebih dari biaya parkir 2 jam di senci yang 4000 rupiah itu. Padahal saya diangkringan bisa berjam jam plus nginep kalau mau.
Ratusan jam dalam hidup saya sepertinya menguap di angkringan. Sejak awal awal kuliah saya sudah terbiasa untuk hidup dan bernafas di angkringan. Mulai dari nunggu rapat di kampus atau nunggu temen siap di kosannya, angkringan lah yang jadi tempat persinggahan sementara yang menyenangkan. Setiap dari manapun entah itu dari dugem, ngapel atau manapun selalu berakhir di angkringan. Bahkan ketika sehabis dari alun-alun selatan, liat orang pacaran, menyeruput ronde plus makan jagung bakar, yang notabene berarti nongkrong, masih ditutup dengan nongkrong lagi di angkringan.
Beberapa waktu lalu, waktu berangkat ke resepsi pernikahan teman kantor, tiba tiba teman saya bilang " Nis tar malem kuajak ke angkringan yuukk" . " Haaa" terkaget kaget saya, "emang ada?". "Ada!! banyak malah" teman saya menyahut. Duh langsung terbayang lah menu angkringan yang sudah lama sekali tidak saya cicip. Alhasil ketika resepsi saya mengontrol makan supaya tidak terlalu kenyang (sungguh!)
Dari resepsi di Cililitan, saya langsung meluncur ke arteri Pondok Indah. Pengorbananan luar biasa hanya untuk makan di angkringan. (Saya biasa jalan kaki dan jaraknya tidak sampai 200m. Sambil setengah merem pun bisa sampai). Disambut gegap gempita pakai bahasa jawa sama yang jual membuat saya merasa dirumah. Bersosialisasi sebentar (ciee) langsung mulai makan. Ngobrol sambil ngemil ber ha ha hi hi trus bayar. "Udah mas" kata saya. "Aku makan nasi dua gorengan ini itu sama minum esteh manis 2. Berapa mas?"
"25.500 mas" yang jual menyahut. "Walah..." batin saya lah ko mahalnya lebih dari uang makan saya sehari. Ga papa lah kata batin saya. Karena saya baru sadar bahwa ternyata bukan selalu makanannya yang dicari. Setidaknya saya bisa duduk dan mengingat Budi, Hasta dan Nicko teman yang dahulu sama-sama rela menguapkan sebagian hidupnya bersama saya diangkringan. Sukses buat kalian, teman..
Saya lupa kapan tepatnya mencoba warung model seperti ini, yang saya yakin sekarang jumlahnya sudah ratusan di seantero jogja. Dalam radius 500 m dari rumah saya, ada sekitar 5 warung seperti ini. Lebih banyak dari jumlah sepeda yang ada di jalan, padahal jogja sering dijuluki kota sepeda. Kota angkringan sepertinya lebih tepat saat ini. Yang kemudian saya tahu adalah, saya sudah menjadi pelanggan loyal angkringan (lebih loyal dibanding sama kuliah saya waktu itu). Jangan berharap menu menu istimewa, cuma ada nasi kucing (karena terlalu sedikit, plus lauk teri yang besarnya tidak pernah lebih dari 5 cm atau kering tempe menguatkan kesan bahwa nasi ini seharusnya adalah hidangan buat kucing). Beberapa macam gorengan, krupuk krupukan dan beberapa varian camilan yang saya yakin tidak direkomendasikan oleh Depkes atau BP POM. Sesuai dengan harganya memang. 500 rupiah untuk satu bungkus nasi, 500 untuk es teh manis dan 200 untuk goreng gorengan (boleh ngutang lagi). Sekali makan tidak lebih dari biaya parkir 2 jam di senci yang 4000 rupiah itu. Padahal saya diangkringan bisa berjam jam plus nginep kalau mau.
Ratusan jam dalam hidup saya sepertinya menguap di angkringan. Sejak awal awal kuliah saya sudah terbiasa untuk hidup dan bernafas di angkringan. Mulai dari nunggu rapat di kampus atau nunggu temen siap di kosannya, angkringan lah yang jadi tempat persinggahan sementara yang menyenangkan. Setiap dari manapun entah itu dari dugem, ngapel atau manapun selalu berakhir di angkringan. Bahkan ketika sehabis dari alun-alun selatan, liat orang pacaran, menyeruput ronde plus makan jagung bakar, yang notabene berarti nongkrong, masih ditutup dengan nongkrong lagi di angkringan.
Beberapa waktu lalu, waktu berangkat ke resepsi pernikahan teman kantor, tiba tiba teman saya bilang " Nis tar malem kuajak ke angkringan yuukk" . " Haaa" terkaget kaget saya, "emang ada?". "Ada!! banyak malah" teman saya menyahut. Duh langsung terbayang lah menu angkringan yang sudah lama sekali tidak saya cicip. Alhasil ketika resepsi saya mengontrol makan supaya tidak terlalu kenyang (sungguh!)
Dari resepsi di Cililitan, saya langsung meluncur ke arteri Pondok Indah. Pengorbananan luar biasa hanya untuk makan di angkringan. (Saya biasa jalan kaki dan jaraknya tidak sampai 200m. Sambil setengah merem pun bisa sampai). Disambut gegap gempita pakai bahasa jawa sama yang jual membuat saya merasa dirumah. Bersosialisasi sebentar (ciee) langsung mulai makan. Ngobrol sambil ngemil ber ha ha hi hi trus bayar. "Udah mas" kata saya. "Aku makan nasi dua gorengan ini itu sama minum esteh manis 2. Berapa mas?"
"25.500 mas" yang jual menyahut. "Walah..." batin saya lah ko mahalnya lebih dari uang makan saya sehari. Ga papa lah kata batin saya. Karena saya baru sadar bahwa ternyata bukan selalu makanannya yang dicari. Setidaknya saya bisa duduk dan mengingat Budi, Hasta dan Nicko teman yang dahulu sama-sama rela menguapkan sebagian hidupnya bersama saya diangkringan. Sukses buat kalian, teman..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar