Saya sudah menghadapi permasalahan kepribadian yang pelik sejak saya kecil. Ya mungkin tidak seserius itu juga. Ditempat saya tinggal dulu, sudah terdapat blok blok pemukiman. Daerah komplek dan daerah perkampungan. Secara geografis kebetulan rumah saya bersanding dengan daerah komplek. Secara administratif, ya saya ini termasuk anak kampung RT 24 RW 07 itu.
Bermain yang menjadi kegiatan paling penting saat itu dan happening kalo kata orang orang sekarang, menjadi masalah buat saya (yang tentu saja baru lebih saya sadari setelah besar). Ada dua kelompok anak-anak yang sama-sama sebaya. Tentu saja mereka itu anak anak komplek, dan anak-anak kampung. Saya mesti main sama siapa? bersama anak komplek, saya bukan bagian dari anak anak dosen yang punya rumah dinas disitu, main sama anak kampung, mereka menganggap saya ajaib karena berbahasa indonesia sama ibu saya, (semuanya berbahasa jawa waktu itu)
Gambaran ekstremnya kelompok kelompok ini tercermin kalo kita perang perangan, bener bener seperti serbuan serius. pake mengintai berjam jam, kadang kadang sampai malem, dan meninggalkan bekas luka sampai sekarang buat saya di tangan kanan (untung yang dipelipis bisa ilang) karena terjun dengan bebas ke selokan kering pas malem malem (gelap banget dan saya tidak nangis waktu itu, gengsi, lagi perang soalnya.) Yang terjadi adalah seringkali saya harus menyeberang di dua kelompok tersebut berganti gantian dan mengorbankan kepribadian saya yang harus mau tidak mau juga berganti ganti. Seperti leonardo di caprio di the departed (maunya). Waktu perang perangan itu saya berada di barisan anak anak komplek yang sudah sejak siang mrencanakan penyergapan. Satu penyergapan ke anak anak yang harusnya saya bela (ciee). Itulah anehnya, jika dua kelompok ini berseteru (baik yang beneran atau dalam skala permainan), saya selalu berada di barisan anak komplek dan anak anak kampung terlihat rela (mungkin kontribusi saya emang tidak berpengaruh). Seperti halnya perang perangan, setiap tanding bola saya juga selalu jadi penyerangnya kelompok komplek (bisa jadi karena anak komplek memang tidak sebanyak anak kampung, jadi orangnya kurang terus)
Agak aneh memang kalo dipikirkan sekarang, karena ternyata memang dua kelompok yang saya gauli waktu kecil itu punya kecenderungan bermain yang berbeda. Di urusan jenis permainan, disaat saya mulai hobi filatelli bersama anak komplek, (menurut versi kami waktu itu ngumpulin sembarang prangko adalah filateli dan kami sudah membahas betapa design prangko repelita nya orde baru sudah ketinggalan jaman, bener!!), bersama anak anak kampung saya mulai ngumpulin layangan berbagai macam corak lewat lari larian tiap sore (seringkali kemudian saya beli aja, karena saya selalu kalah heboh rebutannya). Ketika saya menjadi presiden di sebuah negara (waktu itu saya dan teman teman komplek itu memilih satu negara di ensiklopedi punya ayah salah satu teman saya, menggambar benderanya dan mengibarkannya seolah olah itu adalah negara kami sendiri. Saya memilih sebuah negara di afrika hanya karena desain benderanya bagus menurut saya), bersama anak anak kampung, saya jadi raja lengkap dengan permaisurinya dengan mahkota dari daun pohon nangka yang berkerajaan dilapangan berdebu samping rumah saya, plus flirting-flirting sama permaisuri gaya anak SD. Kesukaan membaca saya (tentunya bukan buku pelajaran) sepertinya dipicu oleh perpustakaan gabungan yang saya punya bersama anak anak komplek. (saya menyumbang bukunya paling sedikit). Majalah ananda, kawanku(dulu majalah anak-anak),HAI (dulu banyak komik bergambarnya) deni manusia ikan, gareng petruk, dan bahkan majalah Trubus (bener bener sering saya baca)jadi koleksi yang kami baca hampir setiap hari, sementara di kelompok yang lain saya bahkan tidak pernah pegang buku (kecuali juz'amma yang diwajibkan untuk dibawa oleh salah satu mahasiswa IAIN yang brinisiatif mengajarkan kami(anak anak kampung) untuk mengaji, (yang mungkin prihatin sama kelakuan kami).
Showbiz sudah saya kenal sejak kecil, sekarang mungkin showbiz sudah lupa sama saya, sudah lama tidak ketemu sepertinya. Saya tau duran-duran karena kakak teman saya yang dikomplek sering muter lagunya dan punya banyak posternya, dan disaat bersamaan saya tau pasti lirik isabellanya amy search yang sering diputer sama tetangga saya yang di RT 24. Saya sudah bikin spot radio sendiri terinspirasi Pierce brosnan's Remington Steele (hebat ya referensi saya waktu kecil) dengan merekam (pakai kaset bekas) sound effect dadakan (mulai dari langkah sepatu sampai suara tembakan) dan saya memaksa jadi talent voice overnya (walaupun sehabis itu saya diprotes habis habisan sama teman teman komplek saya, karena ketika harusnya saya bilang "Jangan bergerak!!" menurut teman teman saya, lafal saya seperti bilang "Combro!!" ). Sementara di kehidupan saya yang lain bersama anak kampung, saya pakai referensi film Tarzan, untuk bergelayutan di akar gantung pohon beringin depan PJKA, sebuah bengkel kereta api yang didepannya memang banyak pohon beringin besar.
Saya punya teman komplek yang suka dengan ikan koki dan mulai merencanakan punya pembudidayaan ikan sendiri bersama saya (dengan pemikiran sederhana tentu saja), setelah beberapa waktu sebelumnya saya berkubang di got got pinggir rel kereta untuk mencari ikan gupy sekaligus memasang paku di rel supaya bisa gepeng dan jadi pedang pedangan.
Di urusan kesalehan kanak kanak, saya bisa shalat tarawih bersama anak komplek di masjid deket rumah dan di hari ke 11 ramadhan saya sudah main petasan di luar mesjid bersama anak kampungnya. Masih ingat benar ketika saya dan salah satu teman komplek saya membeli banyak lifebuoy (finasial di dukung oleh ibunya teman saya) di warung deket rumah hanya karena ingin dapat buku superman supaya bisa kita warnai rame rame, dan di warung yang sama, saya ngemplang bakpia kumbu kacang hitam satu bungkus seharga 150 rupiah, setelah merencanakan pengemplangan ini bersama temen kampung saya (saya modali 150nya untuk beli bakpia yang pertama dan hasilnya dibagi rata,yang artinya saya rugi sebenernya). Demi gengsi kenakalan anak anak kampung, saya juga melakukan budaya menukar sandal di masjid. Bodohnya saya, bahkan sendal yang saya tukar seringkali lebih jelek dari yang asli punya saya (eyang saya pernah bertanya tentang sendal yang dia belikan untuk saya, yang tentu saja sudah sukses saya tukar di masjid dengan sandal jepit lebih buluk ini). Sementara bersama anak komplek saya bahkan tidak pernah mendobel jatah ta'jilan berbuka puasa.
Bukan baik dan buruknya yang saya ingin bagi, tapi memang kedua kelompok bermain ini memberi saya banyak warna, yang tidak akan pernah saya sesali. Laiknya teori dan praktek,lebih baik kalau tau dua duanya. Saya tau gimana bentuk buah coklat yang sesungguhnya (bukan lagi saya liat di Trubus) karena saya pernah memetiknya di pinggir sungai Opak (punya orang lain, a.k.a kalau ketauan akan disambit) bersama teman anak anak kampung saya. Dan sebaliknya saya bisa membahas mekanisme papan reklame di pinggir lapangan bola yang bisa berganti ganti (waktu itu masih baru) di rumah teman saya yang di komplek sementara saya main bola sambil hujan hujanannya bersama anak kampungnya dan tentu saja tanpa memikir reklamenya. Ah dua dunia berbeda yang harus saya jalani di masa kecil saya yang sebentar itu. Mungkin itu juga yang membuat saya sekarang jadi orang iklan yang ingin sekali menyeberang ke client side (saya tau, alasan yang dipaksakan)
Masih ingat dulu sekali ketika teman kompleks saya yang sekarang jadi dosen informatika di UGM bertanya " kenapa ya ko semua resleting yang kita pakai ini mereknya YKK,? sebuah pertanyaan yang terlalu berat dan untuk saya waktu itu yang kemudian saya hanya bisa ngecek resleting saya sendiri dan dalam hati bilang " o iya ya.." . Saya memang baru bisa jawab setelah hampir 20 tahun kemudian " oh itu market leader" . oalah andai saya bisa langsung jawab waktu itu..memang anak kampung saya ini..